Tiap insan pendidikan di Indonesia pasti tahu Ki Hadjar Dewantara. Ya tokoh yang dikenal dengan gelar Bapak Pendidikan Nasional ini selalu diperingati tanggal kelahirannya tiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hadjar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal pada 26 April 1959 saat berusia 69 tahun.
Cerita mengenai Ki Hadjar Dewantara tentunya pernah disinggung dalam pelajaran sejarah saat kita sekolah. Nah... sekilas mengenai beliau, kenapa kemudian disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional, kurang lebih begini sejarah singkatnya.
Ki Hadjar Dewantara (KHD) bernama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (baca : Suwardi Suryaningrat) berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
KHD pernah ditangkap dan diasingkan ke negeri Belanda oleh Pemerintah Kolonial atas tulisannya di sebuah surat kabar. Tulisan yang muncul sebagai reaksi atas rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengambil/meminta sumbangan dari orang-orang pribumi ini rupanya cukup membuat kuping Pemerintah Kolonial panas. Berikut kutipan tulisannya :
Selama pengasingan di Belanda bersama Ernest Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, beliau cukup aktif dalam organisasi dan juga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi di Belanda.
Sekembalinya dari pengasingan, pada tanggal 3 Juli 1922, KHD mendirikan sekolah Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Di sekolah Taman Siswa, KHD juga menerapkan hal yang sama yaitu menghilangkan gelar-gelar pada nama siswa yang masuk ke sekolah tersebut diganti dengan tambahan nama di depan yaitu Ki untuk laki-laki, Nyi untuk perempuan bersuami dan Ni untuk perempuan yang belum bersuami. Hal ini dapat dilihat pada video Youtube tentang Ki Hadjar Dewantara berikut ini :
Di dalam sekolah Taman Siswa KHD juga memberikan semboyan sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Penggalan terakhir dari semboyan tersebut diabadikan sampai saat ini dalam logo pendidikan Indonesia.
Di masa kemerdekaan KHD juga pernah menjabat sebagai menteri, saat itu ia didapuk sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Dan atas jasa-jasanya itu kemudian Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959, Ki Hadjar Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hadjar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal pada 26 April 1959 saat berusia 69 tahun.
Cerita mengenai Ki Hadjar Dewantara tentunya pernah disinggung dalam pelajaran sejarah saat kita sekolah. Nah... sekilas mengenai beliau, kenapa kemudian disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional, kurang lebih begini sejarah singkatnya.
Ki Hadjar Dewantara (KHD) bernama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (baca : Suwardi Suryaningrat) berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
KHD pernah ditangkap dan diasingkan ke negeri Belanda oleh Pemerintah Kolonial atas tulisannya di sebuah surat kabar. Tulisan yang muncul sebagai reaksi atas rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengambil/meminta sumbangan dari orang-orang pribumi ini rupanya cukup membuat kuping Pemerintah Kolonial panas. Berikut kutipan tulisannya :
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander (*) memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".Inlander dalam kutipan tersebut, adalah istilah untuk orang pribumi.
Selama pengasingan di Belanda bersama Ernest Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, beliau cukup aktif dalam organisasi dan juga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi di Belanda.
Sekembalinya dari pengasingan, pada tanggal 3 Juli 1922, KHD mendirikan sekolah Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Di sekolah Taman Siswa, KHD juga menerapkan hal yang sama yaitu menghilangkan gelar-gelar pada nama siswa yang masuk ke sekolah tersebut diganti dengan tambahan nama di depan yaitu Ki untuk laki-laki, Nyi untuk perempuan bersuami dan Ni untuk perempuan yang belum bersuami. Hal ini dapat dilihat pada video Youtube tentang Ki Hadjar Dewantara berikut ini :
Di dalam sekolah Taman Siswa KHD juga memberikan semboyan sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Penggalan terakhir dari semboyan tersebut diabadikan sampai saat ini dalam logo pendidikan Indonesia.
logo pendidikan Indonesia dengan tulisan Tut Wuri Handayani |
Sumber dan Gambar : Wikipedia Indonesia
test
BalasHapus